Tanah nirmala Indonesia telah Allah anugerahkan untuk bangsa ini. Bangsa yang mewarisi berbagai nilai-nilai kearifan, kebijaksanaan, tata krama, dan tentunya penuh dengan cinta. Tercermin dari wajah rupawan yang selalu menyapa di sudut negeri ini pertanda keramahan yang bersahaja, luhur budi pekerti, penuh kasih dan cinta. Alangkah Indahnya negeri ini mewarisi sejuta pesona, senyum saat menyapa dan menjaga etika. Hingga tak heran bangsa ini terkenal dengan bangsa yang “ramah penduduknya”. 

Ramah merupakan sikap yang tercermin pada masyarakat Indonesia. Seolah menyebar cinta kepada siapa saja yang ditemui dengan cara tersenyum dan menyapa. Ramah  adalah nilai yang harus terus diwariskan kepada generasi  negeri ini melalui keteladanan dan pendidikan. Peran penting dari keteladanan dan  pendidikan akan hadir jika guru menjadi pemeran utama dalam mentransfer dan menanamkan  nilai-nilai luhur ini.

Kenyataannya saat ini, aku temui sebuah fenomena para generasi muda yang duduk santai di trotoar jalanan, merokok dan menyanyikan lagu-lagu cinta yang tak sesuai dengan usianya di sekitar lampu merah saat jam-jam sekolah. Usia belia dihabiskan dengan hal yang sia-sia, bukan diisi dengan sejuta prestasi namun dihadapkan pada masalah yang berbenturan dengan moral, hukum dan etika hingga tak jarang  aku dengar pemberitaan anak muda masuk penjara karena masalah narkoba. Disatu sudut kota ku temukan anak muda yang berkata kasar, berani memaki dan menghujat orang tua. Sungguh hal tersebut sangat jauh dari nilai ramah seharusnya. Dimanakah peran pendidikan dalam membentuk generasi yang ramah? generasi yang kental dengan etika sopan dan santun yang mencerminkan budi pekerti yang luhur bangsa ini.

Aku seorang guru. Guru yang akan selalu digugu dan ditiru. Seperti kata Ki Hajar Dewantara “ingarso sun tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Maka setiap perkataan dan perilaku akan menjadi teladan, harus bisa memberikan inspirasi, motivasi, dan membangun semangat generasai penerus bangsa ini. Luar biasa cita-cita yang luhur. Namun, terasa perlu menghela nafas yang berat saat membayangkan aku menjadi sosok guru seperti itu. 

Aku seorang guru. Usia ku menjadi guru masih terbilang muda. Belum genap lima tahun. Tahun pertama menjadi guru aku langsung jatuh cinta. Cinta tumbuh saat ku sapa seluruh siswa tentang cita-citanya sungguh luar biasa. Bagi ku diusia mereka tak terbersit untuk menjadi seorang dokter, chef, peternak ikan, ketua MPR, presiden  bahkan ada yang ingin menjadi pembisnis tempe di Arab dengan alasan harga tempe di sana mahal. Akupun tersenyum bahagia, itulah kesan pertama hingga membuat aku jatuh cinta. Namun di satu sisi aku sedih, mengapa tak satupun diantara mereka ada yang bercita-cita menjadi guru. Waktu  aku duduk di bangku SMP saat usia ku seperti mereka, dengan percaya diri aku ingin menjadi “guru”. Cita-cita itu tak pernah berubah sampai aku duduk di bangku SMA. Hingga Allah menggoreskan takdir terbaik “saat ini aku menjadi guru”.

Sebagian orang memandang sebelah mata sebuah profesi guru. Mungkin karena masalah finansial yang tidak seberapa, atau kesejahteraan yang tak jelas akhirnya. Sungguh itu hanya presefsi orang bermental kerdil saja. Padahal guru bisa hidup lebih sejahtera, bahagia dan kaya raya masalahnya hanya pada mindset saja. Jika guru hanya berfikir  finansial maka rusaklah bangsa ini, yang akan terwariskan adalah generasi dengan pemikiran  hanya mengenyangkan perutnya saja, tak peduli dengan sesama, jauh dari nilai luhur etika yang seharusnya. 

Lumpuhnya bangsa ini dapat dilihat saat guru mulai merasa lelah saat menyapa generasi muda dengan ilmu, tak mampu menorehkan sejuta inspirasi, bahkan tak kuat untuk mambangun pondasi kokoh cita-cita para generasi bangsa ini. “Dimanakah engkau wahai guru ku? guru yang seharusnya tersenyum, ramah, santun, cerdas, dan terus memotivasi dan menyemangati kami. Berikanlah keteladanan kepada kami, sampaikanlah cerita yang menginspirasi kami, bangunlah mimpi kami hingga melambung tinggi, hingga kami tersadar betapa pentingya kami untuk membangun negeri ini” (lirih hati seorang anak negeri). 

Aku adalah guru. Dengan perkataan ku, aku bisa mengubah pandangan generasi muda. Dengan pena ku, akau bisa menggoreskan cita-cita generasi muda. Dengan sikap ku, aku bisa menularkan semangat pada generasi muda. Maka berbahagialah seperti aku, karena aku seorang guru. 

Bukan hanya sekedar guru, namun seorang inspirator dan motivator. Itulah fungsi guru yang terbersit dalam benak ku. Saat memasuki ruang-ruang kelas tak hanya mentranser ilmu, namun ada nilai yang tersampaikan, ada pesan yang tersirat dalam setiap ilmu yang diberikan. Aku guru geografi. Ilmu ini merupakan bagian strstegis dalam mengenalkan generasi bangsa kepada negerinya, Indonesia. Negeri yang Allah anugerahkan dengan sejuta pesona alamnya, etika sopan santun penduduknya, kaya akan budayanya, dan beranekaragam flora dan faunanya. Tak heran negeri ini menyandang gelar “Zamrud Khatuistiwa”. Negeri yang selalu menjadi incaran negara asing dari dulu hingga kini. Negeri ini dulu dijajah hanya karena rempah-rempahnya, saat inipun masih terjajah karena potensi alam dan penduduknya. Penguasaan asset kekayaan alam strategis yang harus dikuasai oleh negara sebagai sumber untuk kesejahteraan rakyat sebagian besar dikuasai bangsa asing, etika dan moral yang mengalami transisi jauh dari nilai luhur budi pekerti negeri ini. 

Dimanakah para generasi negeri saat ini berada?, apakah yang ada dalam benaknya?,  apa yang mereka lakukan?, bagaimana dengan mimpi besarnya?. Datangilah mereka wahai guru dan sampaikanlah dengan penuh cinta agar sampai pada hati dan pikirannya, katakanlah kepada generasi muda “bangsa ini akan lemah, jika engkau tak menjadi generasi yang hebat”. 

Aku guru geografi yang selalu bercerita tentang negeri ini, Indonesia. Menginspirasi dari satu kelas ke kelas lain, dari satu generasi ke genarasi, begitu seterusnya. Aku guru geografi yang bercerita tentang  kehidupan jauh dipelosok negeri, mengajak untuk bersyukur atas kekayaan alam negeri ini, dan  memberikan semangat untuk mengisi kemerdekaan negeri dengan sejuta prestasi. Dari sini, aku bisa memulainya dari profesi ku sebagai “guru”.  Aku bahagia dan aku bangga menjadi “guru geografi” yang mengenalkan generasi pada negeri ini.  
 ..........







2 Komentar

Terima kasih sudah berkunjung di smartgeo

  1. Semangat guru...semakin menginsipirasi , salam kenal

    BalasHapus
  2. Salam kenal ka Levin, selamat ya jadi pemenang di lomba menulis. mendidik dengan cinta dan keteladanan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung di smartgeo

Lebih baru Lebih lama